Selasa, 21 Juni 2016

Salam dan Istishna



      SALAM DAN ISTISHNA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 7
Eka Dian Apriliani      (1416142187)
Irwan Setiawan           (1416142232)
Nova Lestari               (1416142274)
PBS 4B
DOSEN PENGAMPUH:
Khairiah Elwardah,

PRODI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2016



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Salam dan Istishna”  ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Fiqh Muamalah II Ibu  Khairiah Elwardah
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan fiqh muamalah, literatur hukum islam, dan dari hasil observasi wawancara pada bank syariah serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan transaksi jual beli salam dan istishna, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah fiqh muamalah II atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. dan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Kami berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Bengkulu,    April 2016

Kelompok 7      



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.       Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.        Salam................................................................................................. 3
1.      Pengertian Salam......................................................................... 3
2.      Landasan Hukum Salam............................................................. 4
3.      Rukun dan Syarat Salam............................................................. 5
4.      Hukum-hukun dalam Jual Beli Salam......................................... 6
5.      Contoh Kasus.............................................................................. 6
B.       Istishna............................................................................................... 7
1.      Pengertian Istishna....................................................................... 7
2.      Landasan Hukum Istishna............................................................ 7
3.      Rukun dan Syarat Istishna........................................................... 8
4.      Contoh Kasus............................................................................... 9
C.       Perbedaan Salam dengan Istishna...................................................... 9
D.       Praktek Salam dan Istishna dalam Perbankan Syariah....................... 10
BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan......................................................................................... 11
B.       Saran................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayaran-nya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna. Jual beli dengan salam dan istishna ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna wajar jika masih banyak diminati.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian tentang salam dan istishna?
2.      Bagaimanakah landasan hukun salam dan istishna?
3.      Bagaimanakah syarat dan rukun salam dan istishna?
4.      Bagaimanakah contoh kasus salam dan istishna?
5.      Bagaimanakah perbedaan dalam salam dan istishna?
6.      Bagaimanakah praktek salam dan istishna dalam perbankan syariah?



C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian tentang salam dan istishna.
2.      Untuk mengetahui landasan hukun salam dan istishna.
3.      Untuk mengetahui syarat dan rukun salam dan istishna.
4.      Untuk mengetahui contoh kasus salam dan istishna.
5.      Untuk mengetahui perbedaan dalam salam dan istishna.
6.      Untuk mengetahui h praktek salam dan istishna dalam perbankan syariah.




BAB II
PEMBAHASAN
SALAM DAN ISTISHNA
A.      Salam
1.      Pengertian Salam
Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.[1]
Secara istilah salam adalah jual beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. Contohnya, orang muslim membeli komoditi tertentu dengan ciri-ciri tertentu, misalnya: mobil, rumah makan, hewan, dan sebagainya, yang akan diterimanya pada waktu tertentu. Ia bayar harganya dan menunggu waktu yang telah disepakati untuk menerima komoditi tersebut. Jika waktunya telah tiba, penjual menyerahkan komoditi tersebut kepadanya.[2]
Dalam literatur lain salam diartikan sebagai transaksi jual beli barang pesanan Siantar pembeli dan penjual. spesifikasi dan dan harga pesanan harus sudah disepakati diawal transaksi, sedangkan pembayarannya dilakukan Dwimuka secara penuh. Selanjutnya menurut para ulama’ syafiiyah dan hanabilah, salam iartikan sebagai transaksi atas pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan pembayarannya pada waktu tertentu yang pembayarannya dilakukan secara tunai di majelis akad. Umala’ malikiyah mengemukakan salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannnya dilakukan secara tunai dan komoditas pesanan diserahkan pada waktu tertentu.
Sedangkan dalam kodifikasi produk perbankan Syariah dijelaskan bahwa pengertian salam adalah Jual beli barang dengan cara pemesanan berdasarkan persyaratan dan kriteria tertentu sesuai kesepakatan serta pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
2.      Landasan Hukum Salam
 Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282)[3]
Dalam hadis rasul bersabda :

عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
Abdullah bin al-abbas r.a berkata “ ketika Rasulillah Faw. Tiba di Madinah, orang-orang Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan selama setahun, atau dua tahun, atau tiga tahun, ( HR. Muttafaq ‘Alaih).
3.      Rukun dan Syarat Salam
 Pelaksanaan jual beli salam atau inden memuat rukun sebagai berikut :
a.         Pembeli (musalam)
Adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Harus memenuhi kriteria cakap bertindak hukum (balig dan berakal sehat) serta mukhtar (tidak dalam tekanan/paksaan).
b.         Penjual (musala ilaih)
Adalah pihak yang memasok barang pesanan. Harus memenuhi kriteria cakap bertindak hukum (balig dan berakal sehat) serta mukhtar (tidak dalam tekanan/paksaan.
c.         Ucapan (sighah)
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
d.        Barang yang dipesan (muslam fiqh)
Dalam hal ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)             Dinyatakan jelas jenisnya
2)             Jelas sifat-sifatnya.
3)             Jelas ukurannya.
4)             Jelas batas waktunya.
5)             Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas.
Sementara syarat jual beli salam adalah sebagai berikut :
a.         Pembayarannya dilakukan dengan kontan, dengan emas, atau perak, atau logam-logam, agar hal-hal ribawi tidak diprjualbelikandengan sejenisnya secara tunda.
b.         Komodiinya harus dengan spesifikasi yang jelas, misalnya, dengan menyebut jenisnya dan ukurannya, agar tidak trjadi konflik antara seorang muslim dengan saudaranya yang menyebabkan dendam dan permusuhan Siantar keduanya.
c.         Waktu penyerahan komoditi harus ditentukan, misalnya setengah bulan yang akan datang atau lebih.
d.        Penyerahan uang dilakuakan di dalam satu majelis.[4]
4.      Hukum-hukun dalam Jual Beli Salam
Hukum-hukum yang terdapat dalam transaksi jual beli salam adalah sebagai berikut:
a.         Waktu penyerahan komoditi adalah masih lama, misalnya, satu bulan atau lebih, karena penyerahan komoditi pada waktu dekat itu seperti jual beli yang disyratkan melihat komoditi dan memeriksanya.
b.         Waktu penyerahan komoditi adalah waktu yang pada umumnya komoditi tersebut telah ersedia pada waktunya. Jadi, tidak sah waktu penyerahan kurma dimusim bunga atau waktu penyerahan anggur dimusim dingin, karena itu bisa menimbulkan perselisihan Siantar kaum muslimin.
c.         Jika tempat penyerahan komoditi tidak disebutkan pada waktu akad maka penyerahan komoditi harus dilakuakn ditempat akad. Jika tempat penyerahannya dientukan ditempat khusus, seperti disepakati pada waktu akad, dalam arti kedua belah pihak sepakat melakukan serah terima ditempat tersebut maka serah terima komoditi tersebut harus dilakuakn ditempat tersebut, sebab kaum muslimin itu sesuai dengan syaratnya.
5.      Contoh Kasus
 Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%.

B.       Istishna
1.      Pengertian Istishna
 Istishna adalah akad bersama produsen untuk satu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli satu barang yang akan dibuat oleh produsen yang juga menyediakan barang bakunya, sedangkan jika barang bakunya dari pemesan maka transaksi itu menjadi akad jarah (sewa), pemesan hanya menerima jasa produsen untuk membuat barang.
Sedangkan dalam kodifikasi produk perbankan Syariah dijelaskan bahwa istishna adalah sebagai Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan tertentu, kriteria, dan pola pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
 Tujuan istishna umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.[5]
2.      Landasan Hukum Istishna
 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
Mengingat istishnâ’ ini metodenya hampir sama dengan metode pada salam maka Secaba umum landasan syariahnya yang berlakunya pada salam juga berlaku pada istishnâ’.
Selanjutnya ulama’ Hanafi menggolongkan istishnâ’ termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok Montreal penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual. Sementara dalam istishna, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar alasan-alasan berikut.
a.         Masyarakat telah mempraktekkan istishna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan istishnâ’ sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
b.         Dalam Syariah dimungkinkan adanya kemungkinan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’.
c.         Keberadaan didasarkan pada kebutuhan masyarakat, banyak orang yang sering kali memerlikan barang yang tidak tersedia dipasar, sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
d.         Istishnâ’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan Nash atau Syariah[6].
3.    Rukun dan Syarat Istishna
Pada prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan bai’ as-salam. Maka rukun dan syarat istishna’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.  Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai.
Agar istishnâ’ menjadi sah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut.
a.         Barang (mashnu’)
Perincian barang yang sah untuk dijadikan objek istishnâ’ adalah sebagai berikut:
1)      Jenis, misal berupa mobil, rumah, pesawat atau yang lain.
2)      Tipe, misal berupa mobil kijang, rumah tipe RSS.
3)      Kualitas, bagaimana spesifikasi teknisnya dan hal lainnya.
4)      Kuantitasnya, berupa jumlah unit.
b.         Harga 
Harga harus ditentukan berdasarkan aturan sebagai berikut:
1)      Harus diketahui semua pihak.
2)      Bisa dibayarkan sewaktu akad secara cicilan, atau ditangguhkan pada waktu tertentu pada masa yang akan datang.
4.      Contoh Kasus
 Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.
C.      Perbedaan Salam dengan Istishna
Jual beli istisna’ merupakan pengembangan dari jual beli salam, walaupun demikian antara keduanya memiliki berbagai perbedaan Siantar keduanya yaitu sebagai berikut:
1.        Objek transaksi dalam salam merupakan tanggungan dengan spesifikasi kualitas ataupun kualitas, sedang istishna berupa zat/barangnya.
2.        Dalam kontrak salam adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan, hal ini tidak berlaku dalam akad ishtisna.
3.        Kontrak salam bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishna, tidak bersifat mengikat (ghairu lazim).
4.        Dalam kontrak salam persyaratan untuk menyerahkna modal atau pembayaran saat kontrak dilakukan dalam majelis kontrak, sedangkan dalam istishnâ’ dapat dibayar di muka, cicilan atau waktu mendatang sesuai dengan kesepakatan.[7]
Subyek
Salam
Istishna’
Keterangan
Pokok Kontrak
Muslam Fih
Mashnu’
Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
Harga
Dibayar tunai saat kontrak
Bisa di awal, tangguh, dan akhir
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli
Mengikat secara ikutan
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan ishtisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehigga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.

D.      Praktek Salam dan Istishna dalam Perbankan Syariah
Salam dalam teknis perbankan syariah berarti pembelian yang dilakukan oleh baank dengan pembayaran dimika dari pihan I (nasabah I)dan dan dijual kembali kepada pihak lain (nasabah II) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. (Salam Paralel)
Harga/ modal yang dibayar dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang, melainkan bentuk tunai yang dibayarkan segera.
Secara teknis perbankan syariah istishna termasuk bagian dari jual beli dan mirip dengan salam(jual-beli pesanan). Aqad istishna diperlukan karena kebutuhan masyarakat pada umumnya memesan barang dengan persyaratan kriteria atau spesifikasi yertentu.
Bank menjual lagi barang pesanan tersebut kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang mengikat sebelumnya. (istishna paralel)
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
 Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat menarik kesimpulan:
Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,  pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat ijab qabul, dan alat tukar.
Al-Istishna adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
Perbedaan salam dan istishna adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishnâ’ tidak secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.
B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.
Hadi, Abdulah. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam. Surabaya: Putra Media Nusantara.
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta: Kencana
Karim, Helmi. 1997. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Halia Indonesia





[1] Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010), h.100
[2] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Halia Indonesia, 2012) h.125
[3] QS. al-Baqarah (2):282
[4] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Halia Indonesia, 2012) h.127
[5] Ismail, Perbankan syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), h. 149-150  
[6] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Halia Indonesia, 2012) h.131
[7] Wabah zuhaily, al-fiqh islami waadillatuhu, (Beirut. Darul fikri:1989 ) hlm. 634-635



Tidak ada komentar:

Posting Komentar