SALAM DAN ISTISHNA
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 7
Eka Dian Apriliani (1416142187)
Irwan Setiawan (1416142232)
Nova Lestari (1416142274)
PBS 4B
DOSEN PENGAMPUH:
Khairiah Elwardah,
PRODI PERBANKAN
SYARIAH
JURUSAN EKONOMI
ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Salam
dan Istishna” ini dengan
lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Fiqh Muamalah II Ibu Khairiah Elwardah
Makalah ini ditulis
dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan
yang berkaitan dengan fiqh muamalah, literatur hukum islam, dan dari hasil
observasi wawancara pada bank syariah serta infomasi dari media massa yang
berhubungan dengan transaksi jual beli salam dan istishna, tak lupa penyusun
ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah fiqh muamalah II atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini. dan kepada rekan-rekan mahasiswa yang
telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Kami berharap, dengan
membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, memang makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Bengkulu,
April 2016
Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Salam................................................................................................. 3
1. Pengertian Salam......................................................................... 3
2. Landasan Hukum Salam............................................................. 4
3. Rukun dan Syarat Salam............................................................. 5
4. Hukum-hukun dalam Jual Beli Salam......................................... 6
5. Contoh Kasus.............................................................................. 6
B. Istishna............................................................................................... 7
1. Pengertian Istishna....................................................................... 7
2. Landasan Hukum Istishna............................................................ 7
3. Rukun dan Syarat Istishna........................................................... 8
4. Contoh Kasus............................................................................... 9
C. Perbedaan Salam dengan Istishna...................................................... 9
D. Praktek Salam dan Istishna dalam Perbankan
Syariah....................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 11
B. Saran................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bentuk-bentuk
akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah
terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan.
Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang
telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna.
Kegiatan
yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana,
penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta
kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan
melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di
depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan
bentuk pembayaran-nya dan waktu penyerahan barang.
Pada
makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna. Jual beli dengan salam dan istishna ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan
keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna wajar jika masih banyak diminati.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian tentang salam dan
istishna?
2. Bagaimanakah landasan hukun salam dan
istishna?
3. Bagaimanakah syarat dan rukun salam dan
istishna?
4. Bagaimanakah contoh kasus salam dan
istishna?
5. Bagaimanakah perbedaan dalam salam dan
istishna?
6. Bagaimanakah praktek salam dan istishna
dalam perbankan syariah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang salam
dan istishna.
2. Untuk mengetahui landasan hukun salam dan
istishna.
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun salam dan
istishna.
4. Untuk mengetahui contoh kasus salam dan
istishna.
5. Untuk mengetahui perbedaan dalam salam dan
istishna.
6. Untuk mengetahui h praktek salam dan
istishna dalam perbankan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
SALAM DAN ISTISHNA
A. Salam
1. Pengertian Salam
Secara
bahasa as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara
terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas
dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian
hari”.[1]
Secara
istilah salam adalah jual beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan
diserahkan pada waktu tertentu. Contohnya, orang muslim membeli komoditi
tertentu dengan ciri-ciri tertentu, misalnya: mobil, rumah makan, hewan, dan
sebagainya, yang akan diterimanya pada waktu tertentu. Ia bayar harganya dan
menunggu waktu yang telah disepakati untuk menerima komoditi tersebut. Jika
waktunya telah tiba, penjual menyerahkan komoditi tersebut kepadanya.[2]
Dalam
literatur lain salam diartikan sebagai transaksi jual beli barang pesanan
Siantar pembeli dan penjual. spesifikasi dan dan harga pesanan harus sudah
disepakati diawal transaksi, sedangkan pembayarannya dilakukan Dwimuka secara
penuh. Selanjutnya menurut para ulama’ syafiiyah dan hanabilah, salam iartikan
sebagai transaksi atas pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan
pembayarannya pada waktu tertentu yang pembayarannya dilakukan secara tunai di
majelis akad. Umala’ malikiyah mengemukakan salam adalah transaksi jual beli
yang pembayarannnya dilakukan secara tunai dan komoditas pesanan diserahkan
pada waktu tertentu.
Sedangkan dalam kodifikasi produk perbankan Syariah dijelaskan
bahwa pengertian salam adalah Jual beli barang
dengan cara pemesanan berdasarkan persyaratan dan kriteria tertentu sesuai
kesepakatan serta pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
2. Landasan Hukum Salam
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282)[3]
Dalam hadis
rasul bersabda :
عَنِ
اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ
وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ
مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa
meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda:
"Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam
takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat
Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
Abdullah
bin al-abbas r.a berkata “ ketika Rasulillah Faw. Tiba di Madinah, orang-orang
Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan selama setahun, atau dua
tahun, atau tiga tahun, ( HR. Muttafaq ‘Alaih).
3. Rukun dan Syarat Salam
Pelaksanaan jual beli salam atau inden memuat rukun sebagai berikut
:
a.
Pembeli (musalam)
Adalah
pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Harus memenuhi kriteria cakap
bertindak hukum (balig dan berakal sehat) serta mukhtar (tidak dalam
tekanan/paksaan).
b.
Penjual (musala
ilaih)
Adalah
pihak yang memasok barang pesanan. Harus memenuhi kriteria cakap bertindak
hukum (balig dan berakal sehat) serta mukhtar (tidak dalam tekanan/paksaan.
c.
Ucapan (sighah)
Harus
diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat
memalingkan keduanya dari maksud akad.
d.
Barang yang
dipesan (muslam fiqh)
Dalam
hal ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)
Dinyatakan
jelas jenisnya
2)
Jelas
sifat-sifatnya.
3)
Jelas
ukurannya.
4)
Jelas batas
waktunya.
5)
Tempat
penyerahan dinyatakan secara jelas.
Sementara syarat jual beli salam adalah sebagai berikut :
a.
Pembayarannya
dilakukan dengan kontan, dengan emas, atau perak, atau logam-logam, agar
hal-hal ribawi tidak diprjualbelikandengan sejenisnya secara tunda.
b.
Komodiinya
harus dengan spesifikasi yang jelas, misalnya, dengan menyebut jenisnya dan
ukurannya, agar tidak trjadi konflik antara seorang muslim dengan saudaranya
yang menyebabkan dendam dan permusuhan Siantar keduanya.
c.
Waktu
penyerahan komoditi harus ditentukan, misalnya setengah bulan yang akan datang
atau lebih.
d.
Penyerahan uang
dilakuakan di dalam satu majelis.[4]
4. Hukum-hukun dalam Jual Beli Salam
Hukum-hukum
yang terdapat dalam transaksi jual beli salam adalah sebagai berikut:
a.
Waktu
penyerahan komoditi adalah masih lama, misalnya, satu bulan atau lebih, karena
penyerahan komoditi pada waktu dekat itu seperti jual beli yang disyratkan
melihat komoditi dan memeriksanya.
b.
Waktu
penyerahan komoditi adalah waktu yang pada umumnya komoditi tersebut telah
ersedia pada waktunya. Jadi, tidak sah waktu penyerahan kurma dimusim bunga
atau waktu penyerahan anggur dimusim dingin, karena itu bisa menimbulkan
perselisihan Siantar kaum muslimin.
c.
Jika tempat
penyerahan komoditi tidak disebutkan pada waktu akad maka penyerahan komoditi
harus dilakuakn ditempat akad. Jika tempat penyerahannya dientukan ditempat
khusus, seperti disepakati pada waktu akad, dalam arti kedua belah pihak
sepakat melakukan serah terima ditempat tersebut maka serah terima komoditi
tersebut harus dilakuakn ditempat tersebut, sebab kaum muslimin itu sesuai
dengan syaratnya.
5. Contoh Kasus
Seorang petani
memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp 5.000.000,00.
Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual
dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi.
Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton.
Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp
2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga
bank mendapat keungtungan 20%.
B. Istishna
1. Pengertian Istishna
Istishna adalah akad bersama produsen
untuk satu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli satu barang yang
akan dibuat oleh produsen yang juga menyediakan barang bakunya, sedangkan jika
barang bakunya dari pemesan maka transaksi itu menjadi akad jarah (sewa),
pemesan hanya menerima jasa produsen untuk membuat barang.
Sedangkan dalam kodifikasi produk perbankan
Syariah dijelaskan bahwa istishna adalah sebagai Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang berdasarkan persyaratan tertentu, kriteria, dan pola pembayaran sesuai
dengan kesepakatan.
Tujuan istishna umumnya diterapkan pada
pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan,
komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan
yang sesuai adalah pembiyaan investasi.[5]
2. Landasan Hukum Istishna
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
(Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para
ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang
nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
Mengingat
istishnâ’ ini metodenya hampir sama dengan metode pada salam maka Secaba umum
landasan syariahnya yang berlakunya pada salam juga berlaku pada istishnâ’.
Selanjutnya
ulama’ Hanafi menggolongkan istishnâ’ termasuk akad yang dilarang karena
bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada
argumentasi bahwa pokok Montreal penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual.
Sementara dalam istishna,
pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian,
mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar alasan-alasan berikut.
a.
Masyarakat
telah mempraktekkan istishna secara luas
dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan
istishnâ’ sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
b.
Dalam Syariah
dimungkinkan adanya kemungkinan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan
ijma’.
c.
Keberadaan
didasarkan pada kebutuhan masyarakat, banyak orang yang sering kali memerlikan
barang yang tidak tersedia dipasar, sehingga mereka cenderung melakukan kontrak
agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
d.
Istishnâ’
sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak
bertentangan dengan Nash atau Syariah[6].
3. Rukun dan Syarat Istishna
Pada prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan
bai’ as-salam. Maka rukun dan syarat istishna’ mengikuti bai’
as-salam. Hanya saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran
tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu
penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai.
Agar istishnâ’ menjadi sah, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yaitu sebagai berikut.
a.
Barang
(mashnu’)
Perincian
barang yang sah untuk dijadikan objek istishnâ’ adalah sebagai berikut:
1)
Jenis, misal
berupa mobil, rumah, pesawat atau yang lain.
2)
Tipe, misal
berupa mobil kijang, rumah tipe RSS.
3)
Kualitas,
bagaimana spesifikasi teknisnya dan hal lainnya.
4)
Kuantitasnya,
berupa jumlah unit.
b.
Harga
Harga
harus ditentukan berdasarkan aturan sebagai berikut:
1)
Harus diketahui
semua pihak.
2)
Bisa dibayarkan
sewaktu akad secara cicilan, atau ditangguhkan pada waktu tertentu pada masa
yang akan datang.
4. Contoh Kasus
Sebuah perusahaan konveksi meminta
pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini
akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum
biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan
harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan
kostum. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau
sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal.
Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada
pembeli dengan harga pasar.
C. Perbedaan Salam dengan Istishna
Jual beli istisna’ merupakan
pengembangan dari jual beli salam, walaupun demikian antara keduanya memiliki
berbagai perbedaan Siantar keduanya yaitu sebagai berikut:
1.
Objek transaksi
dalam salam merupakan tanggungan dengan spesifikasi kualitas ataupun kualitas,
sedang istishna berupa zat/barangnya.
2.
Dalam kontrak
salam adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan, hal ini tidak
berlaku dalam akad ishtisna.
3.
Kontrak salam
bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishna,
tidak bersifat mengikat (ghairu lazim).
4.
Dalam kontrak
salam persyaratan untuk menyerahkna modal atau pembayaran saat kontrak
dilakukan dalam majelis kontrak, sedangkan dalam istishnâ’ dapat dibayar di
muka, cicilan atau waktu mendatang sesuai dengan kesepakatan.[7]
Subyek
|
Salam
|
Istishna’
|
Keterangan
|
Pokok Kontrak
|
Muslam Fih
|
Mashnu’
|
Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
|
Harga
|
Dibayar tunai saat kontrak
|
Bisa di awal, tangguh, dan akhir
|
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan
istishna’
|
Sifat Kontrak
|
Mengikat secara asli
|
Mengikat secara ikutan
|
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan ishtisna’ menjadi
pengikat untuk melindungi produsen sehigga tidak ditinggalkan begitu saja
oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
|
D. Praktek Salam dan Istishna dalam Perbankan
Syariah
Salam dalam teknis perbankan syariah berarti pembelian
yang dilakukan oleh baank dengan pembayaran dimika dari pihan I (nasabah I)dan
dan dijual kembali kepada pihak lain (nasabah II) dengan jangka waktu
penyerahan yang disepakati bersama. (Salam Paralel)
Harga/ modal yang dibayar dalam salam tidak boleh
dalam bentuk utang, melainkan bentuk tunai yang dibayarkan segera.
Secara teknis perbankan syariah istishna termasuk
bagian dari jual beli dan mirip dengan salam(jual-beli pesanan). Aqad istishna
diperlukan karena kebutuhan masyarakat pada umumnya memesan barang dengan
persyaratan kriteria atau spesifikasi yertentu.
Bank menjual lagi barang pesanan tersebut kepada
nasabah sesuai dengan perjanjian yang mengikat sebelumnya. (istishna paralel)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, kami dapat menarik kesimpulan:
Salam adalah
menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, pembayaran modal
lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam
yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek
transaksi, Sighat ijab qabul, dan alat tukar.
Al-Istishna
adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi
tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di
muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna mengikuti bai’
as-salam. Hanya saja pada bai’ al-istishna pembayaran
tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu
tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
Perbedaan
salam dan istishna adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan
diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishnâ’ tidak secara
kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima
bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim.
Hadi, Abdulah. 2010. Dasar-Dasar
Hukum Ekonomi Islam. Surabaya: Putra
Media Nusantara.
Ismail. 2011. Perbankan
syariah. Jakarta: Kencana
Karim, Helmi. 1997. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqh Muamalah
Klasik dan Kontemporer. Bogor: Halia
Indonesia
[1] Abd. Hadi, Dasar-Dasar
Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010), h.100
[2] Ismail Nawawi,
Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Halia Indonesia, 2012) h.125
[3] QS. al-Baqarah
(2):282
[4] Ismail Nawawi,
Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Halia Indonesia, 2012) h.127
[5] Ismail,
Perbankan syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), h. 149-150
[6] Ismail Nawawi,
Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Halia Indonesia, 2012) h.131
[7] Wabah zuhaily,
al-fiqh islami waadillatuhu, (Beirut. Darul fikri:1989 ) hlm. 634-635
Tidak ada komentar:
Posting Komentar